Berita
Pustandpi BSILHK Selenggarakan Webinar Pojok Iklim Standar Daerah Berketahanan Iklim

Pustandpi BSILHK Selenggarakan Webinar Pojok Iklim Standar Daerah Berketahanan Iklim

Sekretariat Pojok Iklim bekerjasama dengan Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) melalui Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim (Pustandpi) sukses menyelenggarakan webinar Pojok Iklim yang bertajuk “Peran dan Tantangan Standar Untuk Pembangunan Wilayah Berketahanan Iklim”. Acara ini diselenggarakan pada 8 Maret 2023 dan diikuti sekitar 500 peserta melalui kanal Zoom dan Youtube. Agenda ini menjadi bagian dari Diskusi Pojok Iklim Seri Standar Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim.

Acara ini dibuka dengan penyampaian Keynote Speech oleh Kepala BSILHK, Ir. Ary Sudijanto, MSE., dipandu oleh Analis Kebijakan Ahli Muda Pustandpi, Galih Kartika Sari, S.Hut, MAP, serta dimoderatori oleh Analis Kebijakan Ahli Muda Pustandpi, Dr. Nunung Parlinah, S.Hut., M.Si. Hadir sebagai narasumber, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor KLHK, Erik Teguh Primiantoro, S.Hut, MES; Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Provinsi Jawa Barat, Drs. Edy Heryadi, M.Si; dan Analis Kebijakan Ahli Muda Pustandpi, Mirna Aulia Pribadi, S.Hut., M.Si.

Dalam pembukaannya, Ary Sudijanto mengatakan pembangunan wilayah berketahanan iklim merupakan kebijakan Pemerintah yang ditujukan untuk mendukung peningkatan kapasitas negara terhadap ketahanan iklim. Tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 dan diturunkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, peningkatan kapasitas ketahanan iklim menjadi salah satu Prioritas Nasional (PN).

“Mengacu pada kebijakan tersebut, adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan hal yang sangat penting. Peran ekosistem dan ilmu pengetahuan tentang kapasitas adaptif suatu daerah menjadi komponen yang perlu dipertimbangkan untuk memastikan ketahanan iklim suatu wilayah. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan ketahanan iklim suatu daerah perlu didukung oleh semua entitas di Indonesia untuk mengurangi dampak terhadap kelompok rentan”, ujar Ary.

Sebagai salah satu upayanya, Ary menekankan pentinganya standar instrumen dalam peningkatan kapasitas ketahanan iklim di suatu daerah. Menurutnya, standar membantu menciptakan kebijakan publik dalam menangani dampak lingkungan dan menerapkan proses manajemen risiko yang kuat. Oleh karena itu, BSILHK melalui Pustandpi merumuskan Standar Daerah Berketahanan Iklim sebagai guidance di tingkat tapak untuk menghadapi perubahan iklim.

“Standar Daerah Berketahanan Iklim standar ini menyediakan komponen, kriteria, indikator, dan variabel yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat ketahanan iklim suatu daerah yang dapat digunakan institusi terkait sebagai instrumen perencanaan berbagai kegiatan pembangunan daerah terutama dalam upaya mewujudkan ketahanan daerah terhadap bencana iklim. Standar daerah berketahanan iklim ini menjadi sangat penting, mengingat Indonesia ini merupakan wilayah dengan tingkat risiko iklim yang rentan serta memiliki risiko bencana iklim yang tinggi”, pungkas Ary.

Narasumber pertama, Erik Teguh Primiantoro mengatakan bahwa pembangunan wilayah yang berkelanjutan dan berketahanan iklim memiliki berbagai tantangan. Ia menyebutkan tantangan tersebut yaitu Triple panetary crisis dengan berbagai macam dampak dari resikonya, Global Risk terkait perubahan iklim, Megatrend terkait terkait food, energy, dan water security, aspek SDGs,sertaVUCA.

“Berbagai macam tantangan penting harus kita hadapi terkait dengan dampak perubahan iklim. Ancaman, tantangan, hambatan, gangguan terhadap masalah ketahanan ataupun resiliensi dari ekologi tadi akan mengganggu masalah ketahanan nasional tadi. Kuncinya di sini adalah bagaimana kita memplot kapasitas adaptasi di level landscape, di level adaptasi ekologis tadi sehingga kita bisa tahan dan tangguh terhadap berbagai macam isu perubahan iklim”, ujar Erik.

Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut dalam konteks pembuatan standar, Erik mengatakan harus ada dua pendekatan, yaitu membangun standar-standar perubahan iklim dan mengembangkan standar berbagai macam usaha yang memang tangguh terhadap bencana. Ia menekankan bagaimana standar tersebut dapat memperkuat kapasitas adaptasi ekosistem ataupun landscape dari berbagai macam aspek. Untuk itu menurutnya, penting untuk selalu melakukan kolaborasi, pengembangan kelembagaan, dan inovasi yang integratif.

“Tujuannya adalah bagaimana memperkuat berbagai manfaat infrastruktur ekologis kita sehingga tangguh terhadap berbagai macam dampak dan risiko dari perubahan iklim sehingga kita bisa menjamin keberlanjutan jasa lingkungan. Itu dapat kita manfaatkan dalam rangka menunjukkan keselamatan mahluk hidup,” ungkap Erik.

Secara teknis, Erik merekomendasikan empat standar untuk dibangun. Pertama, standar kualitas lingkungan hidup dan keletarian hutan. Standar tersebut berisikan bagaimana membangun kualitas lingkungan dan landscape yang tangguh terhadap bencana.

Kedua, standar teknologi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Pengelolaan Hutan Lestari (PHL). Standar ini berisikan berbagai macam teknologi, baik teknologi yang berbasis alam (Nature-based Solutions-NBS) ataupun teknologi yang bersifat struktural, atau juga kombinasi dari keduanya. Standar ini juga memuat proses transformasi sosial atau social planning untuk peningkatan kapasitas adaptasi bencana.

Ketiga, standar Sistem Manajemen Lingkungan (SML) atau Standar Tata Kelola (Bagi Pemerintah termasuk Kementerian atau Lembaga (K/L) yang ditujukan untuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Termasuk didalamnya berisikan peningkatan kompetensi SDM dan Kelembagaan.

Terkahir, standar Metodologi. Standar ini berisikan penyelenggaraan perencanaan lingkungan hidup, instrumen ekonomi lingkungan hidup dan kajian dampak lingkungan. Erik mengatakan, berbagai macam metodologi yang dapat digunakan dalam konteks pembangunan wilayah berketahanan iklim dapat diintegrasikan dengan berbagai instrumen tata lingkungan.

“Kita harus bisa membangun kualitas lingkungan dan standar terkait dengan landscape yang memang tangguh terhadap bencana. Kita perlu mereview kembali berbagai macam standar-standar lingkungan kita sendiri sehingga memang standar-standar tadi memang bisa tangguh terhadap berbagai resiko Perubahan Iklim tadi”, pungkas Erik.

Acara berlanjut ke pemaparan dari narasumber kedua, Edy Heryadi yang menceritakan kondisi kebencanaan di Jawa Barat serta bagaiamana penanggulangannya. Ia menuturkan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki potensi kebencanaan tinggi disebabkan memiliki 7 gunung api aktif, 3 sesar aktif dan 2 lempeng bumi, serta iklim tropis. Berdasarkan data dari BPBD Jabar, Selama 6 tahun terkahir (2017-2022) Provinsi Jawa Barat mengalami 10.581 bencana. Kejadian bencana melingkupi angin kencang, banjir, gempa bumi, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, dan kejadian lainnya.

“Jawa Barat memiliki potensi kebencanaan yang tinggi dikarenakan memiliki 7 gunung api aktif, 3 sesar aktif, 2 lempeng, banjir, selain itu terdapat pergerakan tanah, tsunami, kebakaran hutan dan lahan, kebakaran pemukiman, angin puting beliung, kegagalan teknologi, dan kejadian luar biasa seperti akibat Covid 19 dan demam berdarah. Dari 27 kabupaten di Jawa Barat, terdapat 10 kota/kabupaten yang dikategorikan tinggi rawan bencana. Jumlah bencana di Jawa Barat seiring waktu semakin meningkat dengan bencana terbanyak adalah longsor, banjir, dan angin puting beliung”, kata Edy.

Dalam pencegahan dan penanggulan bencana, Edy mengatakan bahwa dunia menerapkan Sendai Framework for Disaster Risk Reduction. Kemudian diimplementasikan oleh BPBD Jabar yang diantaranya melakukan Risk Understanding, yakni memberikan pemahaman terkait risiko bencana bencana. BNPB menetapkan bahwa setiap daerah harus mengeluarkan dokumen kajian risiko bencana yang dijabarkan dalam rencana penanggulangan bencana (RPB). Khusus untuk daerah-daerah yang rawan bencana harus membuat dokumen rencana kontingensi atau dokumen kedaruratan per jenis bencana.

“Ini menjelaskan kaitannya aspek-aspek potensi ancaman bencana suatu daerah kemudian apa saja yang akan terjadi dari aspek perencanaan dilihat dari aspek perencanaan penduduk sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan Kemudian dari RPB ini dituangkan dalam rencana penanggulangan rencana selama 5 tahun yang berisikan bagaimana isu-isu penanggulangan bencana prioritas di suatu wilayah untuk diintervensi melalui program kegiatan yang akan dilakukan tidak hanya di BPBD tapi juga di perangkat daerah atau instansi yang yang bersinggungan atau yang terlibat dalam penanggulangan bencana”, ujar Edy.

Narasumber ketiga, yaitu Mirna Aulia Pribadi menerangkan tentang Standar Daerah Berketahanan Iklim (SDBI) yang disusun oleh Pustandpi. Mirna memaparkan bahwa SDBI ditujukan agar suatu daerah dapat mengukur kapasitas ketahanan terhadap bencana hidrometeorologi dan membangun ketahanan dalam berbagai bidang. Penerapan SDBI bermanfaat dalam pemetaan dan proyeksi kebijakan berketahanan iklim. Selain itu, SDBI juga mendorong kesadaran terhadap pentingnya ketahanan terhadap risiko iklim dan meningkatkan iklim investasi yang terintegrasi.

“Mekanisme penilaiannya terdapat dua skema alternatif, yaitu self assessment maupun penilaian oleh Pemerintah,” ujar Mirna.

Saat ini, penyusunan SDBI telah mencapai tahap tersusunnya konsep. Mirna menjelaskan, SDBI akan terus dikembangkan hingga dapat menjadi standar yang akan diterapkan di seluruh daerah. Untuk itu, Ia mengungkapkan tindak lanjut penyempurnaan SDBI yang melingkupi konsultasi publik, uji coba penilaian SDBI pada berbagai pilot kegiatan, membangun instrumen penilaian dan analisis berbasis digital/sistem informasi/system registry, serta perbaikan dan peningkatan akurasi.

“Yang masih perlu dilakukan adalah konsultasi publik guna mendapatkan masukan untuk menyempurnakan lebih lanjut dan mendapatkan konsensus dari berbagai stakeholder terkait, selanjutnya perlu dilakukan uji coba penilaian SDBI pada berbagai pilot kegiatan lainnya sehingga standar ini bisa lebih stabil, lalu membangun instrumen penilaian dan analisis berbagai berbasis digital sehingga SDBI dapat diketahui secara akurat, aktual, dan informatif, serta perlu dilakukan perbaikan dan peningkatan akurasi penilaian ketahanan Iklim dari waktu ke waktu”, pungkas Mirna.

Penulis: Faisal Fadjri
Editor: Alifa Zahra Adhyana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *