Bambu, Sejuta Potensi Penggerak Ekonomi
Tumbuh diam tanpa banyak diperhatikan, bambu menyimpan sejuta potensi untuk menggerakan ekonomi rakyat
Siapa tak kenal bambu? Rumput raksasa ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia di Indonesia. Bambu biasa dimanfaatkan masyarakat untuk pagar, penahan atap, dinding, penahan bangunan, ajir tanaman, dan keperluan kebudayaan.
Namun siapa sangka, bambu menyimpan potensi yang lebih besar. Bambu dapat menjadi sumber bahan baku berbagai produk, sebagai alternatif energi terbarukan. Secara ekologis, bambu dapat menjadi solusi dari ancaman lingkungan dan dampak perubahan iklim. Bahkan berpotensi merestorasi lahan, karena kemampuannya beradaptasi dalam lahan yang rusak atau kritis, juga sebagai pengumpul air yang sangat baik.
Untuk itu Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim (PUSTANDPI) bekerja sama dengan Yayasan Bambu Lestari (YBL) mengangkat isu bambu dalam sebuah talkshow. Bertajuk “Bambu Solusi Berbasis Alam: Penggerak Ekonomi Rakyat dengan Produk Ramah Lingkungan”, agenda ini diadakan pada Minggu (17/09/2023) di Indonesia Arena, Gelora Bung Karno, Jakarta.
Hadir dalam acara, Kepala Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) Ary Sudijanto memberikan sambutan sekaligus membuka acara. Selain itu, hadir sebagai narasumber yakni Wilhelmina Wahul (Mama Pembibit Bambu Flores), Marselinus Mansyur (Pandu Bambu Flores), Karim Munaf (Direktur Desain dan Produksi Bambulogy), dan Singgih Kartono (Spedagi). Dimoderatori oleh Avianti Armand (Pemerhati Seni), hadir juga Monica Tanuhandaru (Yayasan Bambu Lestari) dan Desy Ekawati (Pustandpi KLHK) sebagai pemantik diskusi.
“Seperti arahan Bapak Presiden, isu perubahan iklim juga harus menjadi bagian dari masyarakat secara luas. Upaya aksi mitigasi dan adaptasi yang dilakukan telah banyak dilakukan di tingkat tapak, sehingga ini merupakan peran dan kontribusi yang telah diberikan oleh masyarakat dengan dukungan para pihak. Seperti halnya Bambu, yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Indonesia,” tutur Ary Sudijanto.
Ia juga berpesan pentingnya kerja sama dalam mengatasi dampak perubahan iklim. “Perlu dukungan dan sinergi dari banyak pihak, lintas sektor, dari tingkat tapak sampai pengambil kebijakan dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Khususnya dalam pengembangan bambu, sehingga menjadi bagian dari tujuan dan target kita dalam penurunan emisi dan target kontribusi nasional dalam pengendalian perubahan iklim,” pungkasnya.
Di awal sesi paparan, Wilhemina bercerita bahwa sejak April 2023, Yayasan Bambu Lestari (YBL) hadir di Manggarai timur memberikan sosialiasi pentingnya bibit bambu serta melakukan pelatihan pembibitan bambu. YBL juga memberikan penjelasan mengenai bambu memiliki nilai ekologi, ekonomi, sosial budaya, serta pemberdayaan perempuan dalam pelaksanaannya. Hal itu membuat Wilhelmina beserta mama-mama yang tergabung dalam Mama Pembibit Bambu Flores tergerak mulai membibit bambu.
Wilhelmina mengaku, dari hasil pembibitan dapat dihasilkan uang berkisar 7 – 20 juta rupiah per keluarga. Dari hasil anyaman serat alam, para mama dapat menghasilkan 5-10 juta rupiah per kelompok. Selain pembibitan bambu, para mama juga melakukan kegiatan menganyam dan budidaya sayuran di Lahan Kepompong. “Dari hasil pembibitan bambu, para mama bisa memenuhi kebutuhan kehidupan, seperti biaya pendidikan anak, membeli lahan, membeli mesin perontok padi, dan lain sebagainya, yang meningkatkan kemampuan ekonomi para mama pembibit bambu,” tuturnya.
Paparan dilanjutkan oleh Marselinus mengungkapkan potensi bambu sebagai pariwisata lestari. Ia mencontohkan Desa Wisata Golo Loni, salah satu desa wisata di Kabupaten Manggarai Timur. Salah satu atraksi wisatanya yaitu Adopsi Bambu, di mana para wisatawan dapat menanam bambu. Selain memberikan edukasi secara praktik, ia mengungkapkan bahwa atraksi ini bertujuan mendukung untuk mewujudkan green tourism dan pariwisata berkelanjutan.
“Bibit bambu tersebut akan diberi nama sesuai nama wisatawan dan aktivitas ini diharapkan akan menjadi pengingat bagi wisatawan untuk kembali berkunjung,” ungkap Marselinus. Beberapa atraksi wisata lainnya berupa spot foto, yang memanfaatkan bambu sebagai bahan utamanya. Selain itu, terdapat atraksi wisata berupa Warung kopi, di mana wisatawan diajak minum kopi dalam gelas bambu yang unik dan cantik. Gelas bambu ini juga dijual sebagai cenderamata.
Berlanjut pada potensi berikutnya, Karim Munaf menjelaskan bambu sebagai bahan bangunan yang lestari. Ia menjelaskan bambu dapat diolah menjadi komposit bambu yang dipakai dalam konstruksi bangunan. Salah satu contoh dari komposit bambu adalah bamboo scrimber. “Kelebihan bangunan yang terbuat dari komposit bambu antara lain ringan, awet, proses konstruksi cepat, efisien secara energi, tahan gempa, tidak membutuhkan alat berat, dan secara biaya dapat bersaing dengan konstruksi konvensional,” tuturnya.
Untuk itu, ia bersama Bambulogy berfokus pada konstruksi dari komposit bambu (bamboo scrimber) sebagai bahan bangunan. Kendati memiliki potensi tinggi, Karim mengaku minimnya pengetahuan pasar mengenai material tersebut menjadi tantangan tersendiri. “Indonesia memiliki potensi tinggi untuk komposit bambu dan membutuhkan riset lebih dalam dari segala aspek. Selain itu juga perlu peningkatan kesadaran pasar serta implementasi Industry 4.0 untuk optimalisasi prosesnya,” ungkapnya.
Terkahir, Singgih Kartono berkesempatan mengenalkan sepeda bambu Spedagi. Ketersediaan bambu yang melimpah menjadi pendorong munculnya rancangan sepeda bambu, di saat sepeda bambu justru sudah mulai dikembangkan di negara yang bukan penghasil bambu. Sepeda bambu Spedagi merupakan sepeda hand made yang semua proses dikerjakan secara cermat oleh para perajin terlatih.
Seolah menjawab pertanyaan mendasar tentang kekuatannya, Ia mengaku sepeda bambu buatannya telah digunakan di event balap sepeda tertua di dunia yaitu Paris-Brest-Paris, yang menempuh jarak sejauh 1200 km dalam waktu 90 jam. Hal ini menunjukkan bahwa sepeda bambu sudah terbukti kuat. Selain itu menurut penggunanya, sepeda bambu ini sangat nyaman untuk penggunaan jarak jauh.
Monica Tanuhandaru mengapresiasi para narasumber atas paparannya yang insightful. Sebagai pemantik diskusi, ia melihat bahwa solusi fundamental pengembangan bambu di Indonesia justru berpusat pada peran Pemerintah. Seolah tak ingin meninggalkan momentum, Monica juga memantik peserta dengan serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang membangun.
“Apakah pemerintah bisa mewujudkan pendanaan desa agar bekerja sama dengan desa-desa, para mama pembibit bambu? Apakah pemerintah bisa mewujudkan tata kelola pemerintah yang bekerja sama dengan para pemuda seperti Kak Marselinus Mansyur, kaitannya dengan pengelolaan pariwisata? Apakah pemerintah dapat membantu produk Bambulogy ke skala nasional? Mengingat bahwa emisi pembangunan (secara konvensional) dapat mencapai 44%, pengembangan material bangunan dari bambu ini dapat menjadi sebuah terobosan,” tanyanya retoris.
Pantikan terakhir berasal dari Desy Ekawati. Ia mengatakan bahwa Pemerintah terus memperhatikan perkembangan bambu. Ia menjelaskan Indonesia sudah menjadi pusat pengembangan Bambu sejak 1995 dengan diselenggarakannya International Bamboo Congress di Ubud, Bali. Pada 1997-1998 disusun Strategi Nasional Pengembangan Bambu. Kemudian pada tahun 2013 kembali dibahas Strategi Nasional bambu tersebut. Kuncinya adalah bersinergi dan berkoordinasi, serta perlu bergerak dari hulu, tengah, dan hilir.
“Pada tahun ini akan mendukung bagaimana teman-teman yang bergerak di hulu bisa mendapatkan sertifikasi bambu yang berkelanjutan dan berketahanan iklim. Selain itu bagi pelaku usaha yang akan menscale-up usahanya, akan dipermudah dengan mekanisme pemberikan izin lingkungan yang saat ini sedang diinisiasi,” tuturnya. “Yang dibutuhkan saat ini adalah payung hukum. KLHK merupakan pemegang hulu terkait dengan bagaimana bambu ada, dikelola, dan bermanfaat bagi masyarakat. Dari hal tersebut KLHK dapat berperan terkait dengan payung hukum,” pungkasnya.
Talkshow “Bambu Solusi Berbasis Alam: Penggerak Ekonomi Rakyat dengan Produk Ramah Lingkungan” merupakan salah satu sesi dari Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan dan Energi Baru Terbarukan (LIKE). Sesi ini bertujuan untuk berbagi dan berdialog bagaimana sumberdaya alam bambu bisa menggerakkan ekonomi lokal sekaligus berperan dalam pelestarian lingkungan. Diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selama tiga hari (16-18/09/2023), Festival LIKE terbuka untuk masyarakat umum.
Selain talkshow, festival juga dimeriahkan oleh pameran mengenai segala aspek lingkungan hidup dan kehutanan, coaching clinic, dan pertunjukan seni budaya tradisional dan modern. Puncak Festival LIKE pada tanggal 18 September dihadiri oleh Presiden Joko Widodo untuk melakukan dialog bersama masyarakat. Melalui festival ini, diharapkan dapat semakin meningkatkan kesadaran dan dukungan masyarakat terhadap upaya dan aksi perubahan iklim dari sektor lingkungan hidup dan energi terbarukan
.
Penulis: Faisal Fadjri
Editor: Alifa Zahra Adhyana
Foto: Aris Ristiyana