Knowledge Sharing Sebagai Upaya Peningkatan Kapasitas Pegawai
Sebagai upaya meningkatkan wawasan akan pentingnya standar instrumen dalam ketahanan bencana dan perubahan iklim, Pusat Standardisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim (Pustandpi) menyelenggarakan knowledge sharing terkait kebijakan dan implementasi standar ketahanan bencana dan perubahan iklim di Provinsi Jawa Barat. Kegiatan ini dihelat pada Selasa (20/12) di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda, Bandung.
Acara ini dibuka dengan sambutan oleh Kepala UPTD Tahura, Ir. H. Djuanda, Aep Saepul Islam. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa Tahura Djuanda ini sudah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Kepala Pustandpi, Kirsfianti L. Ginoga, menyampaikan pentingnya tahura karena penyusutan fungsi hutan dapat menurunkan daya serap CO2, yang menyebabkan perubahan iklim menjadi tidak terhindarkan dan berakibat pada timbulnya bencana. “Bencana yang terjadi seperti banjir, kebakaran, kenaikan suhu bumi, dan kenaikan muka air laut sangat berpengaruh dan memberikan ancaman serius terhadap sosial ekonomi rakyat Indonesia,” ujarnya. Selain itu, tahura ini dapat menjadi destinasi wisata bagi masyarakat yang ingin melakukan Forest Healing.
Kirsfianti berujar, sebagai salah satu upaya perbaikan dan pencegahan bencana yang disebabkan perubahan iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menginisiasi program Indonesia’s Folu Net Sink 2030. “Indonesia’s Folu Net Sink 2030 dilaksanakan di tingkat provinsi yang merupakan gerak aksi bersama sebagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sehingga kenaikan suhu bumi dapat ditekan agar tidak melebihi 1,5 derajat celcius,” pungkasnya.
Acara berlanjut ke sesi Knowledge Sharing yang dinarasumberi oleh Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Roni Sukmaya dan Kepala Pusat Keteknikan Kehutanan dan Lingkungan, Sekretariat Jenderal KLHK, Asep Sugiharta. Roni Sukmaya memaparkan bahwa Provinsi Jawa Barat telah melakukan penerapan standar ketahanan bencana dalam menghadapi bencana. “Kami selalui melibatkan pentahelix yang terdiri dari pemerintah, akademisi, lembaga usaha, masyarakat, dan media yang saat ini menjadi krusial,” ujar Roni.
Asep Sugiharta menjelaskan bahwa pada tahun 2016, Pusat Keteknikan Kehutanan dan Lingkungan telah menyusun norma standar dalam penolongan ketika terjadi bencana dan sedang mengembangkan lebih detail untuk ke depannya. “Adanya NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) bertujuan untuk menyediakan sarana prasarana serta kesiapsiagaan bencana untuk mengukur efektivitas kinerja. Pustandpi diharapkan dapat mengembangkan yang sudah diawali oleh pustek,” pungkasnya.
Selain itu, menurut Asep, Tahura sebagai obyek wisata diharapkan dapat mengakomodasi kesiapsiagaan kebencanaan. Dalam hal ini Tahura Djuanda sudah memiliki jalur evakuasi dan titik kumpul yang merupakan produk mitigasi kebencanaan di bidang pariwisata alam. Standar terkait titik kumpul dan evakuasi serta standar mitigasi bencana di lokasi wisata alam merupakan hal yang diperlukan.
Setelah sesi Knowledge Sharing, dilakukan penanaman lima bibit pohon di Tahura Ir. H. Djuanda. Selanjutnya, beberapa peserta diberi kesempatan untuk melakukan pengamatan terhadap Sesar Lembang.
Sesar Lembang merupakan patahan terbesar di Jawa Barat yang terbentang sepanjang 29 km dari barat ke timur, mengelilingi tepi utara Bandung dan berada tepat di selatan Gunung Tangkuban Perahu. Sesar Lembang dapat menghasilkan gempa berkekuatan 6,5 hingga 7,0 Mw, dengan waktu pengulangan 170-670 tahun. Berbagai kajian kebumian menunjukkan bukti bahwa saat ini Sesar Lembang merupakan sesar yang aktif.***
Penulis: Faisal Fadjri, Alifa Zahra Adhyana
Editor: Alifa Zahra Adhyana